BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Umat Islam di
Filipina disebut dengan bangsa Moro, agama Islam masuk ke Filipina bersamaan
dengan masuknya Islam ke kawasan Asia Tenggara lainnya atau paling tidak
setelah Sumatera, Malaka dan Brunei. Seperti ditemukan dalam Tarsilah,
bahwa para endakwah yang datang ke kawasan Filipina adalah dari Sumatera dan
Brunei, bahkan cikal bakal penguasa di Filipina berasal dari Sumatera, kecuali
kesultanan Islam di Manila yang berasal dari Brunei.
Masuknya Islam
ke Filipina seperti kawasan Asia Tenggara lainnya tidak diketahui dengan pasti.
Tidak ada catatan atau prasasti yang dapat dijadikan patokan masuknya Islam ke
sana. Yang ada hanyalah perkiraan di kawasan Nusantara atau tanah melayu. Islam
diperkenalkan di Selatan Filipina (Kepulauan Sulu) pada awal abad ke-10 M. para
pedagang Arab telah sampai ke kawasan ini yang sebelumnya mereka berdagang
dengan Brunei (Broneo). Pada tahun 977 M, Brunei telah mengirimkan seorang duta
yang beragama Islam ke Cina. Duta tersebut oleh orang Cina disebut Pu Ali (Abu
Ali). Setelah mengenal Brunei mereka pun sampai ke Filipina Selatan. Pada tahun
982 M telah ada kapal-kapal dagang Arab yang datang dari Ma-i yang sekarang
disebut Mindoro. Bukti-bukti ini menjelaskan bahwa Islam telah masuk ke negara
ini pada abad ke 10-M.
B.
Rumusan
masalah
1.
Kapan
Islam masuk ke Filipina ?
2.
Bagaimana
proses berkembangnya Islam di Filipina ?
3.
Apakah
Islam bertahan pada masa penjajahan Barat/kolonialisme ?
4.
Bagaimana
proses Islam setelah kemerdekaan ?
5.
Apa
itu Front Pembela Nasional Moro ?
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Islam di Filipina
A.
Masuk dan Berkembangnya Islam di Filipina
Filipina adalah
negara kepulauan dengan 7.107 buah pulau. Penduduknya yang berjumlah 47 jiwa
menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda-beda yang mencerminkan banyaknya suku
dan komunitas etnis. Mayoritas penduduknya menganut agama katolik. Penduduk
yang menganut agama Islam menurut data resmi pemerintah sekitar 5% atau 2,8
juta jiwa. Dari data non pemerintah menyebutkan bahwa umat Islam di Filipina
sekitar 7 juta jiwa atau sekitar 10% dari penduduk Filipina.[1]
Sebelum
datangnya Spanyol, secara umum terdapat dua bentuk masyarakat di kawasan yang
kini disebut Filipina. Di sebelah selatan dikenal dengan komunitas Muslim yang
monoteis dan mereka yang animis atau pagan yang menempati bagian tengah dan
utara wilayah itu, ada dua tujuan masuknya Spanyol pada waktu itu, yaitu motif
ekonomi dan motif agama. Motif agama berarti katolikisasi terhadap masyarakat
Filipina. Tetapi Spanyol hanya sukses menaklukan katolikisasi di bagian tengah
dan utara yang animis atau pagan, sedangkan di selatan mereka tidak berhasil
melakukan katolikisasi terhadap Sulu dan Manguindanao.[2]
Masuk dan berkembangnya Islam di negara Filipina sesuai dengan
daerah-daerah penyebaran agama Islam :
1.
Sulu
Masuknya
Islam ke Filipina melalui Sulu. Dikatakan dalam Salasilah Sulu, orang
yang pertama kali memperkenalkan Islam disana adalah Tuan Masya’ika, berasal
dari Arab Selatan Tuan Masya’ika menikah dengan putri Raja Sipad, penguasa Sulu
pada waktu itu. Meskipun sudah dapat dipastikan bahwa keluarga itu telah masuk
Islam, tetapi tidak ada yang menunjukkan apakah masyarakatnya sudah memeluk
Islam. Islam muncul pada abad ke-14, karena terdapat kuburan tua seorang muslim
yang disebut Paduka Maqbalu di Bud Dato, Jolo
Menurut
Salasilah Sulu terdapat nama seorang ahli sufi yang datang ke Buansa
untuk mengajarkan agama Islam. Ahli sufi itu dikenal sebagai Syarif Aulia Karim
al-Makhdum, mendarat di pulau Jolo pada tahun 1380 M. kemudian, Makhdum
Aminullah, yang dikenal dengan Sayyid an-Niqab dan Makhdum Abdurrahman. Selain
para makhdum terdapat pula seorang raja yang berasal dari Minagkabau, Sumatera
Barat, yang disebut dengan Raja Baginda. Menurut Tarsila Sulu Raja
Baginda sampai di Sulu 10 tahun setelah datangnya Karim al-Makhdum.
Menurut
Salasilah Sulu, orang-orang yang memperkenalkan Islam ke Sulu adalah
Sayyid dari Palembang yang dikenal dengan Sayyid Abu Bakar yang mendarat di
Sulu sekitar tahun 1450 M. Sayyid Abu Bakar menikah dengan putri Raja Baginda
yang bernama Paramisuli. Kemudian dia beri gelar Sultan Syarif al-Hasyim.
Para Sultan
yang memerintah Sulu sejak Sayyid Abu Bakar hingga tahun 1808 M adalah sebagai
berikut :
a.
Sultan
Syarif al-Hasyim (Sayyid Abu Bakar)
b.
Sultan
Kamal al-Din
c.
Sultan
Ala al-Din
d.
Sultan
Amir al-Umara
e.
Sultan
Mu’iz al-Mutawaddi’in
f.
Sultan
Nasir al-Din I
g.
Sultan
Muhammad al-Halim
h.
Sultan
Batara Syah
i.
Sultan
Muwalli al-Wasit
j.
Sultan
Nasi al-Din II
k.
Sultan
Salah al-Din Bakhtiar
l.
Sultan
Ali Syah
m.
Sultan
Nur al-‘Azam
n.
Sultan
al-Haqunu bin Waliy al-Ahad
o.
Sultan
Sahab al-Din
p.
Sultan
Mustafa Syafi al-Din
q.
Sultan
Sultan Badar al-Din[3]
2.
Manguindanao
Islam
telah disebarkan disini secara meluas pada awal abad ke-16 oleh seorang
keturunan arab melayu, Muhammad Kabungsuan bin Syarif Ali Zain al-Abidin. Dia
sampai di Manguindanao sekitar tahun 1515 M, dengan mendirikan sebuah
pemerintahan di sebuah tempat yang bernama Malabang. Agama Islam pun terus
berkembang di Manguindanao. Para pendakwah dari Ternate dan Brunei datang ke
Manguindanao bukan saja untuk mengislamkan penduduk yang belum Islam tetapi
juga mengajar dan memperdalam pengetahuan Islam penduduk sana.
Kampong
Iranun di sekitar teluk Illana merupakan masyarakat Manguindanao yang pertama
kali masuk Islam. Dan telah mendapatkan bimbingan dari para muballig Syarif
Kabungsuan. Di samping Syarif Kabungsuan adapula ulama lain yaitu Syarif Alawi
yang berdakwah di Manguindanao. [4]
3.
Luzon
Sebelum
Spanyol datang, Islam telah sampai ke pulau Luzon. Namun dakwah disini belum
berhasil. Hanya di kawasan Manila saja yang terdapat pemukiman dan pemerintahan
Islam.
Ibukota Filipina, Amanilah adalah sebuah kota
yang diberi nama dari bahasa Arab yaitu Fi
Amannillah ( dibawah perlindungan Allah Swt ),
setelah dikuasai Spanyol Amanilah diganti nama menjadi Manila.[5]
Islam disebarkan di sekitar Manila itu berasal
dari Brunei. Salasilah Brunei mengatakan bahwa Sultan Bulkiah dari
Brunei telah merebut Selurong yaitu kawasan Manila sekarang. Salah seorang
kerabat raja Brunei dipilih untuk memerintah kawasan itu. Akan tetapi,
terhambat akibat direbutnya Manila oleh Spanyol pada tahun 1570. Raja Sulaiman
dibunuh oleh tentara Spanyol yang dipimpin oleh Legazpi di teluk Manila.
Keberhasilan Legazpi ini menjadi awal kolonialisme di Filipina.
Walaupun
Manila merupakan kawasan Islam sebelum direbut oleh Spanyol, namun diperkirakan
belum banyak orang penduduknya yang memeluk agama Islam. Mereka masih menganut kepercayaan
lama animisme. Pada keseluruhan perkembangan Islam di Filipina terutama di
Luzon bersaing dengan usaha kristenisasi pihak Spanyol. Walaupun Spanyol telah
berhasil menghambat perkembangan Islam di negeri itu, namun Islam tetap
bertahan dengan kuat di kalangan
orang-orang Moro di Selatan (Mindanao dan Sulu).[6]
B.
Islam pada masa penjajahan Barat
Dahulu Islam tersebar
di Filipina, hampir mencapai seluruh kepulauannya. Disana juga telah berdiri
pemerintahan Islam, seperti halnya yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi,
secara tiba-tiba muncullah arus pemikiran keagamaan yang dibawa oleh penjajah
Spanyol.
Pada tahun 928
H/1521 M, secara mendadak Spanyol menyerbu kepulauan-kepulauan Filipina. Selama
masa yang hampir 4 abad ini, telah terjadi upaya penjauhan ajaran Islam dari
generasi kaum muslimin secara berturut-turut lewat jalan peperangan yang
menghancurkan kaum muslimin dan memaksa mereka untuk memeluk agama Nasrani
dengan ancaman kekerasan. Sekalipun demikian, mereka tidak juga mampu
mengalahkan pemerintahan-pemerintahan Muslim, sehingga disana masih tersisa
beberapa pemerintahan. Spanyol belum berhasil sepenuhnya menguasai Filipina ini,
khususnya kepulauan Mindanao dan Sulu.[7]
Perkembangan
Islam di Filipina terhambat oleh kolonialisme Spanyol. Kolonialisme Spanyol
yang membawa semangat glory, gospel and gold berusaha kuat untuk
mengubah agama masyarakat Filipina menjadi pengikut katolik.[8]
Serta menerapkan sistem politik divide and rule (pecah belah dan kuasai), dan
mission sacre (misi suci untuk kristenisasi) terhadap orang Islam. Pada
1578, terjadi perang antara kaum muslim dengan Spanyol yang juga melibatkan
orang Filipina Utara yang telah menjadi Kristen.[9]
Wilayah
Manguindanao dan Sulu di Filipina selatan tidak pernah ditundukkan oleh
Spanyol, namun dianggap sebagai bagian dari koloninya. Terbukti dalam Traktat
Paris pada tahun 1898 yang mengalihkan kekuasaan Filipina kepada Amerika Serikat
dan selanjutnya Amerika menguasai Filipina,[10]
Amerika Serikat
kemudian menguasai kepulauan Filipina pada tahun 1317 H/1899 M. maka timbullah
perlawanan menentangnya dan berlangsung hingga tahun 1339 H/1920 M.[11]
Amerika Serikat mewarisi kawasan terutama di wilayah utara Filipina yang
berpusat di Manila, Luzon. Sementara wilayah selatan Filipina yang membentang
di Kepulauan Mindanao dan seluruh pulau Sulu yang tidak pernah terjamah oleh
usaha kristenisasi Spanyol, berada dibawah kekuasaan militer Spanyol dengan
cara membangun benteng pertahanan yang kuat di seluruh penjuru hunian penduduk.
Namun, control atas masyarakat sedemikian lemah sehingga mudah diruntuhkan
seiring dengan jatuhnya Teluk Manila oleh Amerika Serikat. Sungguhpun demikian,
Amerika Serikat tidak mengelola daerah Selatan ini hingga 1902.[12]
Pada masa
pemerintahan kolonialisme Amerika Serikat, masyarakat Islam yang masih
tradisional tidak mau bekerja sama dengan Amerika maupun masyarakat Filipina
lainnya yang katolik. Usaha pembaratan atau pemodernan administrasi juga gagal
pada masyarakat Islam di Selatan. Amerika lebih mudah bekerja sama dengan
mayarakat katolik.
Konsentrasi
kebijakan Amerika Serikat memang tidak tertuju pada konversi agama penduduk,
tetapi pada usaha mem-Barat-kan umat Islam sehingga mampu memerintah dirinya
sendiri, setara dengan orang Kristen Filipina. Amerika Serikat mengirimkan para pejabat sipil Kristen ke
kawasan Islam yang dikuasai oleh penguasa muslim untuk memperkenalkan cara baru
pengelolaan pemerintahan dan merangsang komunitas muslim untuk dapat bekerja
sama dengan proyek negara. Program ini tidak hanya ditujukan untuk kolonialisme
Amerika Serikat untuk melakukan transformasi dalam kehidupan kaum muslim di
kawasan selatan, namun yang lebih penting meredakan permusuhan Islam-Kristen
yang telah berjalan lama. Sebagai bagian dari proyek ini, colonial Amerika
Serikat juga menganjurkan dan mengirim ribuan orang Kristen dari utara untuk
menetap di Mindanao.[13]
C.
Islam di Filipina setelah Kemerdekaan
Ketika Amerika
Serikat memberikan kemerdekaan kepada rakyat Filipina pada tahun 1947, Islam
manguindanao dan Sulu itu juga termasuk didalamnya. Dengan kata lain, kedua
wilayah ini menjadi bagian dari negara Filipina, meskipun diprotes keras oleh
pemimpin dan rakyat muslim di kawasan itu. Sebelum penyerahan kemerdekaan itu,
Sultan Sulu mengirimkan surat kepada Kongres dan Presiden Amerika Serikat bahwa
kepulauan Mindanao khususnya Kesultanan Sulu menolak untuk menjadi bagian dari
negara Filipina yang merdeka. Mereka ingin tetap menjadi bagian dari negara
Amerika Serikat dan tidak ikut bergabung dengan negara Filipina. Namun protes
itu tidak digubris oleh Amerika Serikat dank arena itu muslim Moro di kepulauan
Mindanao tetap menjadi bagian dari negara Filipina. Penyerahan kedaulatan
kesultanan Sulu oleh Spanyol ke penjajah
Amerika Serikat yang dianggap illegal dan surat permintaan Sultan Sulu kepada
Presiden dan Kongres Amerika Serikat untuk tidak bergabung dengan negara
Filipina merdeka, itu menjadi tonggak sejarah bagi gerakan separatism di
kepulauan Mindanao: bahwa bangsa moro sejak awal tidak bersedia menjadi bagian
dari negara Filipina.[14]
Akibat berbagai
kekecewaan dan sakit hati masyarakat Islam terhadap perlakuan yang tidak adil
sejak masa kolonialisme Spanyol, Amerika, dan berlanjut pada masa pemerintahan
Filipina mendorong munculnya organisasi-organisasi yang menuntut kemerdekaan
bagi wilayah Selatan Filipina. Lahirnya MIM (Mindanao Independence Movement)
dan MNLF (Moro National
Liberation Front) adalah upaya untuk meraih kemerdekaan bagi wilayah
masyarakat Muslim. Di pihak lain, upaya dari penguasa Filipina masa kini juga
tidak terlalu serius untuk memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat
Islam dalam memperoleh kesempatan baik dalam pemerintahan, kemiliteran, dan
pendidikan. Akhirnya tidak tahu sampai kapan persoalan masyarakat muslim bisa
terselesaikan baik oleh pemerintah Filipina maupun para tokoh muslim di
Filipina Selatan.
D.
Front Pembela Nasional Moro
Untuk kasus
Filipina, sejarah hubungan antara kaum muslim di Filipina Selatan atau Moro dan
penguasa penjajah Spanyol merupakan sejarah konfrontasi abadi. Setelah
pendudukan militer dari tahun 1899 hingga 1903, provinsi Moro berdiri dari
tahun 1903 hingga 1913 sebagai unit politik dan militer. Dari tahun 1914 hingga
tahun 1920, didirikan wilayah bagian Mindanau dan Sulu. Tak lama kemudian
urusan kaum muslim pun ditangani oleh pemerintah Filipina.
Lepas dari
upaya mengintegrasikan wilayah itu secara administratif dan memasukkan
pendidikan sekuler, organisasi masyarakat muslim Filipina tetap berdasarkan
tradisi. Agama merupakan masalah utama. Pendidikan Agama Islam tetap memainkan
peran penting dalam sosialisasi masyarakat. Gejala di Filipina
pascakolonialisme adalah Kristenisasi dan Filipinanisasi yang menyebabkan
kegelisahan terpendam di kalangan kaum muslim akan masa depan mereka yang hidup
dalam bangsa Filipina. Karena kedaulatan Republik Filipina yang dipulihkan pada
4 Juli 1946, selain didasarkan pada Undang-Undang tahun 1935, yang kemudian
mengadopsi model system pemerintahan demokrasi Amerika, juga secara tersembunyi
dicurigai akan menghilangkan kesan masyarakat Islam di kepulauan Mindanau ini.[15]
Orang-orang
Islam di Filipina ini menamakan diri mereka Moro. Menurut catatan sejarahnya,
istilah Moro merujuk kepada kata “Moor”, “Moriscor”, atau “Muslim”, yang berasal dari istilah Latin “Mauri” sebuah
istilah yang sering digunakan orang-orang Romawi Kuno untuk menyebut penduduk
wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di wilayah
Filipina dan menemukan sebuah bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat
seperti orang-orang “Moor” di Spanyol Andalusia, maka mereka mulai menyebut
orang-orang Islam Filipina dengan istilah “Moro”.[16] Namun,
nama ini sebenarnya lebih bersifat politis, karena dalam kenyataannya. Moro
terdiri dari banyak kelompok etno-linguistik, umpamanya Maranao, Manguindanao,
Tausug, Samah, Yakan, Ira Nun, Jamanapun, Badjao, Kalibugan, Kalagan dan
Sangil. Jumlah masyarakat Moro sekitar 4,8 juta jiwa atau 9% dari seluruh
penduduk Filipina. Di Sulu masih terdapat penduduk mayoritas kepulauan
tersebut, yaitu Tawi-Tawi, Zamboanga de Sur, Manguindanao, Zamboanga de Norte,
Northj Corabaco, Sultan Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, South Cobaco,
Palawan dan Basilan.
Moro yang
diawali dengan lahirnya MIM “Mindanao Independence Movement” pada tahun
1968 yang diprakarsai oleh Datu Udtog Manulang. Kemudian pada tahun 1971
terbentuklah MNLF “Moro National Liberation Front” yang diketuai oleh
Nur Misuari.
Mayoritas
orang-orang Moro adalah nelayan dan petani. Orang Moro merasa diri berbeda dengan
orang Filipina. Perbedaan tersebut sesungguhnya bukan pada faktor etnis, karena
jumlah kelompok etnis mendekati 100 di Filipina tetapi lebih pada faktor
sejarah politik, wilayah, agama dan kondisi sosial ekonomi.
Dilihat dari
ektivitas kerja, orang-orang Islam Moro ada yang bekerja di sektor pemerintahan
sebagai guru, administratur, personil angkatan bersenjata, pegawai kantor
kehakiman dan bahkan ada yang terpilih sebagai gubernur. Kaum muslim yang
mendapatkan pendidikan sekuler cenderung mudah menyatu dengan negara Filipina.
Sebaliknya yang tidak mau menerima pendidikan sekuler dan hanya mendapatkan
pendidikan agama secara tradisional, biasanya tidak menghendaki integrasi
dengan Filipina, terutama kelompok elite lokal yang mendapat pendidikan di Timur
Tengah. Antara kelompok elite tradisional dan massa terdapat jurang pemisah
yang cukup lebar di kalangan masyarakat Moro. Identifikasi dan kesadaran etnik
yang terjadi karena pembagian komunitas-komunitas muslim secara geografis,
tampaknya sangat kuat. Namun, meskipun terdapat variasi dan perbedaan itu,
terdapat perasaan persaudaraan keagamaan terutama ketika menghadap persoalan
yang sama.[17]
MNLF ( Moro National Libertion
Front), MNLF menyatakan perang dengan pemerintah Philipina sejak 1972-1976,
mereka memaksa pemerintahan Ferdinand E. Marcos untuk menandatanagani
perjanjian yang disebut “perjanjian Tripoli”. Tapi perjanjian Tripoli menurut opini
MNLF, tidak dipatuhi pemerintah Philipina. ketentuan yang dibutuhkan oleh
Legislatif Philipina telah sesuai dengan
perjanjian Tripoli. Seperti kewenangan
kekeuasaan, pembagian daerah dan sistem administratif memberikan alibi sempurna
bagi pemerintah Philipina untuk menolak. Kongres yang dikontrol oleh pihak
legislatif yang bertentangan dengan semangat perjanjian terutama dalam
memberikan otonomi berarti bagi bangsa Moro. Keadaan darurat pada tahun 1972 diberlakukan oleh Presiden Marcos
mengarah pada semakin memburuknya pelaksanaan hukum. Masyarakat baru yang ingin
dibangun oleh Marcos merupakan upaya untuk memperbaiki kebobrokan yang melanda
Filipina sebagai negara. Kaum muslim tentu saja terpengaruh; namun pada tingkat
pemerintahan mereka telah diberi konsensi. Pemberontakan kaum muslim dilihat
sebagai sesuatu yang terlalu mahal dan tidak perlu. Perjanjian Tripoli yang
diupayakan untuk menghentikan pertempuran antara pihak MNLF dengan pemerintah
diadakan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Perang Sabil (perang suci) merupakan tradisi keagamaan yang berusia
sangat tua di Asia Tenggara. Bagian penting dari kehidupan melayu yang selalu
dipakai untuk melawan musuh dari luar, terlebih lagi terhadap bangsa Eropa.
Perang Sabil juga digunakan oleh penduduk Filipina Selatan terhadap
kolonialisme Spanyol, kemudian Amerika Serikat. Perang Sabil di Filipina
selatan pernah dilancarkan oleh Panglima Hassan yang memberontak terhadap
kolonialisme Amerika Serikat ketika pajak cedula diberlakukan tahun
1903. Hal itu mungkin menjadi kebangkitan jihad kaum muslim.
Masa pra-kemerdekaan ditandai
dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen
Philipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem
kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat
kapitalistis. Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan
legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh
pemerintah kolonial AS dan pemerintah Philipina di Utara yang menguntungkan
para kapitalis.
Ketika
Philipina merdeka ditahun 1946, mayoritas warga Islam Moro di pulau Mindanao,
meminta supaya tidak menjadi bagian negara yang baru itu, namun permintaan itu
diabaikan. Sejak itu konflik berkepanjangan pun berlangsung. Dan puncaknya
disaat Philipina dipimpin Ferdinand Marcos yang menerapkan kondisi perang
‘Martial Law’. Akibatnya menjadi sangat luar biasa terjadi konflik besar antara
penduduk muslim dan non-muslim di Mindanao Selatan. Perang itu memusnahkan
banyak perkampungan muslim. Banyak tanah dan harta milik kaum muslim Moro yang
berpindah tangan. Agar perjuangan lebih terorganisir terbentuklah MIM (Muslim
Independent Movement) oleh Datuk Udtog Matulam pada tahun 1968 dan MLF (Moro
Liberation Front) pada tahun 1971. MNLF sebagai induk perjuangan bangsa Moro.
Lahirnya MIM dan MNLF adalah sebagai bentuk upaya untuk meraih kemerdekaan bagi
wilayah masyarakat muslim.
Dampak
lainya, masyarakat Islam di Filipina tidak memiliki tokoh yang bisa
memanfaatkan berbagai kesempatan baik pada masa penjajahan Spanyol, Amerika
Serikat maupun pada masa kemerdekaan. Akibat logisnya adalah tidak adanya tokoh
muslim yang masuk ke jajaran elit pemerintahan dan elit politik yang
memperjuangkan mereka secara politis. Yang ada hanya tokoh yang dapat
mengobarkan mereka untuk perang sabil. Padahal dalam upaya memperjuangkan
apapun di samping upaya perang, harus ada yang memperjuangkannya secara
politis, khususnya dalam negeri.
[1] Apipudin, Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : 2007), hal.99
[2] Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai; Peran
Civil Society Muslim di Thailand Selatan & Filipina Selatan, (Jakarta:
The Wahid Institute, 2012) hal. 44 - 45
[3] Apipudin, Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : 2007) hal. 104
[4] Apipudin, Islam di Asia Tenggara,… hal. 105
[5] Diakses 15 Mei 2014, http://www.globalmuslim.web.id/2011/01/islam-di-filipina-sebuah-fakta-sejarah.html
[6] Apipudin, Islam di Asia Tenggara,… hal. 105
[7] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, (Jakarta : Akbar Media Eka
Sarana, 2003) hal.
[8] Apipudin, Islam di Asia Tenggara,… hal. 107
[9] Prof Dr. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Asia
Tenggara ,…hal.477
[10] Apipudin, Islam di Asia Tenggara,… hal.108
[11] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adama hingga Abad XX
[12] Ensiklopedi hal.336
[13] Prof Dr. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Asia
Tenggara ,… hal.337
[14] Ahmad Suaedy,.. hal. 46
[15] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam;
Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)
hal.362-363
[16] Prof Dr. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Asia
Tenggara, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) hal. 476
[17] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam; Perspektif Etno-Linguistik
dan Geo-Politik,… hal. 364– 365