Sexy Red Lips an empty space for share: MAKALAH SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA DI FILIPINA + FOOTNOTE

Mengenai Saya

Foto saya
student of state university, i like to help people and share about everything what i like, and what i knew,

Minggu, 18 Mei 2014

MAKALAH SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA DI FILIPINA + FOOTNOTE

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Umat Islam di Filipina disebut dengan bangsa Moro, agama Islam masuk ke Filipina bersamaan dengan masuknya Islam ke kawasan Asia Tenggara lainnya atau paling tidak setelah Sumatera, Malaka dan Brunei. Seperti ditemukan dalam Tarsilah, bahwa para endakwah yang datang ke kawasan Filipina adalah dari Sumatera dan Brunei, bahkan cikal bakal penguasa di Filipina berasal dari Sumatera, kecuali kesultanan Islam di Manila yang berasal dari Brunei.
Masuknya Islam ke Filipina seperti kawasan Asia Tenggara lainnya tidak diketahui dengan pasti. Tidak ada catatan atau prasasti yang dapat dijadikan patokan masuknya Islam ke sana. Yang ada hanyalah perkiraan di kawasan Nusantara atau tanah melayu. Islam diperkenalkan di Selatan Filipina (Kepulauan Sulu) pada awal abad ke-10 M. para pedagang Arab telah sampai ke kawasan ini yang sebelumnya mereka berdagang dengan Brunei (Broneo). Pada tahun 977 M, Brunei telah mengirimkan seorang duta yang beragama Islam ke Cina. Duta tersebut oleh orang Cina disebut Pu Ali (Abu Ali). Setelah mengenal Brunei mereka pun sampai ke Filipina Selatan. Pada tahun 982 M telah ada kapal-kapal dagang Arab yang datang dari Ma-i yang sekarang disebut Mindoro. Bukti-bukti ini menjelaskan bahwa Islam telah masuk ke negara ini pada abad ke 10-M.

B.     Rumusan masalah
1.      Kapan Islam masuk ke Filipina ?
2.      Bagaimana proses berkembangnya Islam di Filipina ?
3.      Apakah Islam bertahan pada masa penjajahan Barat/kolonialisme ?
4.      Bagaimana proses Islam setelah kemerdekaan ?
5.      Apa itu Front Pembela Nasional Moro ?

BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Islam di Filipina
A.    Masuk dan Berkembangnya Islam di Filipina
Filipina adalah negara kepulauan dengan 7.107 buah pulau. Penduduknya yang berjumlah 47 jiwa menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda-beda yang mencerminkan banyaknya suku dan komunitas etnis. Mayoritas penduduknya menganut agama katolik. Penduduk yang menganut agama Islam menurut data resmi pemerintah sekitar 5% atau 2,8 juta jiwa. Dari data non pemerintah menyebutkan bahwa umat Islam di Filipina sekitar 7 juta jiwa atau sekitar 10% dari penduduk Filipina.[1]
Sebelum datangnya Spanyol, secara umum terdapat dua bentuk masyarakat di kawasan yang kini disebut Filipina. Di sebelah selatan dikenal dengan komunitas Muslim yang monoteis dan mereka yang animis atau pagan yang menempati bagian tengah dan utara wilayah itu, ada dua tujuan masuknya Spanyol pada waktu itu, yaitu motif ekonomi dan motif agama. Motif agama berarti katolikisasi terhadap masyarakat Filipina. Tetapi Spanyol hanya sukses menaklukan katolikisasi di bagian tengah dan utara yang animis atau pagan, sedangkan di selatan mereka tidak berhasil melakukan katolikisasi terhadap Sulu dan Manguindanao.[2]
Masuk dan berkembangnya Islam di negara Filipina sesuai dengan daerah-daerah penyebaran agama Islam :
1.      Sulu
Masuknya Islam ke Filipina melalui Sulu. Dikatakan dalam Salasilah Sulu, orang yang pertama kali memperkenalkan Islam disana adalah Tuan Masya’ika, berasal dari Arab Selatan Tuan Masya’ika menikah dengan putri Raja Sipad, penguasa Sulu pada waktu itu. Meskipun sudah dapat dipastikan bahwa keluarga itu telah masuk Islam, tetapi tidak ada yang menunjukkan apakah masyarakatnya sudah memeluk Islam. Islam muncul pada abad ke-14, karena terdapat kuburan tua seorang muslim yang disebut Paduka Maqbalu di Bud Dato, Jolo
Menurut Salasilah Sulu terdapat nama seorang ahli sufi yang datang ke Buansa untuk mengajarkan agama Islam. Ahli sufi itu dikenal sebagai Syarif Aulia Karim al-Makhdum, mendarat di pulau Jolo pada tahun 1380 M. kemudian, Makhdum Aminullah, yang dikenal dengan Sayyid an-Niqab dan Makhdum Abdurrahman. Selain para makhdum terdapat pula seorang raja yang berasal dari Minagkabau, Sumatera Barat, yang disebut dengan Raja Baginda. Menurut Tarsila Sulu Raja Baginda sampai di Sulu 10 tahun setelah datangnya Karim al-Makhdum.
Menurut Salasilah Sulu, orang-orang yang memperkenalkan Islam ke Sulu adalah Sayyid dari Palembang yang dikenal dengan Sayyid Abu Bakar yang mendarat di Sulu sekitar tahun 1450 M. Sayyid Abu Bakar menikah dengan putri Raja Baginda yang bernama Paramisuli. Kemudian dia beri gelar Sultan Syarif al-Hasyim.
Para Sultan yang memerintah Sulu sejak Sayyid Abu Bakar hingga tahun 1808 M adalah sebagai berikut :
a.       Sultan Syarif al-Hasyim (Sayyid Abu Bakar)
b.      Sultan Kamal al-Din
c.       Sultan Ala al-Din
d.      Sultan Amir al-Umara
e.       Sultan Mu’iz al-Mutawaddi’in
f.       Sultan Nasir al-Din I
g.      Sultan Muhammad al-Halim
h.      Sultan Batara Syah
i.        Sultan Muwalli al-Wasit
j.        Sultan Nasi al-Din II
k.      Sultan Salah al-Din Bakhtiar
l.        Sultan Ali Syah
m.    Sultan Nur al-‘Azam
n.      Sultan al-Haqunu bin Waliy al-Ahad
o.      Sultan Sahab al-Din
p.      Sultan Mustafa Syafi al-Din
q.      Sultan Sultan Badar al-Din[3]
2.      Manguindanao
Islam telah disebarkan disini secara meluas pada awal abad ke-16 oleh seorang keturunan arab melayu, Muhammad Kabungsuan bin Syarif Ali Zain al-Abidin. Dia sampai di Manguindanao sekitar tahun 1515 M, dengan mendirikan sebuah pemerintahan di sebuah tempat yang bernama Malabang. Agama Islam pun terus berkembang di Manguindanao. Para pendakwah dari Ternate dan Brunei datang ke Manguindanao bukan saja untuk mengislamkan penduduk yang belum Islam tetapi juga mengajar dan memperdalam pengetahuan Islam penduduk sana.
Kampong Iranun di sekitar teluk Illana merupakan masyarakat Manguindanao yang pertama kali masuk Islam. Dan telah mendapatkan bimbingan dari para muballig Syarif Kabungsuan. Di samping Syarif Kabungsuan adapula ulama lain yaitu Syarif Alawi yang berdakwah di Manguindanao. [4]
3.      Luzon
Sebelum Spanyol datang, Islam telah sampai ke pulau Luzon. Namun dakwah disini belum berhasil. Hanya di kawasan Manila saja yang terdapat pemukiman dan pemerintahan Islam.
Ibukota Filipina, Amanilah adalah sebuah kota yang diberi nama dari bahasa Arab yaitu Fi Amannillah ( dibawah perlindungan Allah Swt ), setelah dikuasai Spanyol Amanilah diganti nama menjadi Manila.[5]
 Islam disebarkan di sekitar Manila itu berasal dari Brunei. Salasilah Brunei mengatakan bahwa Sultan Bulkiah dari Brunei telah merebut Selurong yaitu kawasan Manila sekarang. Salah seorang kerabat raja Brunei dipilih untuk memerintah kawasan itu. Akan tetapi, terhambat akibat direbutnya Manila oleh Spanyol pada tahun 1570. Raja Sulaiman dibunuh oleh tentara Spanyol yang dipimpin oleh Legazpi di teluk Manila. Keberhasilan Legazpi ini menjadi awal kolonialisme di Filipina.
Walaupun Manila merupakan kawasan Islam sebelum direbut oleh Spanyol, namun diperkirakan belum banyak orang penduduknya yang memeluk agama Islam. Mereka masih menganut kepercayaan lama animisme. Pada keseluruhan perkembangan Islam di Filipina terutama di Luzon bersaing dengan usaha kristenisasi pihak Spanyol. Walaupun Spanyol telah berhasil menghambat perkembangan Islam di negeri itu, namun Islam tetap bertahan dengan kuat di  kalangan orang-orang Moro di Selatan (Mindanao dan Sulu).[6]

B.     Islam pada masa penjajahan Barat
Dahulu Islam tersebar di Filipina, hampir mencapai seluruh kepulauannya. Disana juga telah berdiri pemerintahan Islam, seperti halnya yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, secara tiba-tiba muncullah arus pemikiran keagamaan yang dibawa oleh penjajah Spanyol.
Pada tahun 928 H/1521 M, secara mendadak Spanyol menyerbu kepulauan-kepulauan Filipina. Selama masa yang hampir 4 abad ini, telah terjadi upaya penjauhan ajaran Islam dari generasi kaum muslimin secara berturut-turut lewat jalan peperangan yang menghancurkan kaum muslimin dan memaksa mereka untuk memeluk agama Nasrani dengan ancaman kekerasan. Sekalipun demikian, mereka tidak juga mampu mengalahkan pemerintahan-pemerintahan Muslim, sehingga disana masih tersisa beberapa pemerintahan. Spanyol belum berhasil sepenuhnya menguasai Filipina ini, khususnya kepulauan Mindanao dan Sulu.[7]
Perkembangan Islam di Filipina terhambat oleh kolonialisme Spanyol. Kolonialisme Spanyol yang membawa semangat glory, gospel and gold berusaha kuat untuk mengubah agama masyarakat Filipina menjadi pengikut katolik.[8] Serta menerapkan sistem politik divide and rule (pecah belah dan kuasai), dan mission sacre (misi suci untuk kristenisasi) terhadap orang Islam. Pada 1578, terjadi perang antara kaum muslim dengan Spanyol yang juga melibatkan orang Filipina Utara yang telah menjadi Kristen.[9]
Wilayah Manguindanao dan Sulu di Filipina selatan tidak pernah ditundukkan oleh Spanyol, namun dianggap sebagai bagian dari koloninya. Terbukti dalam Traktat Paris pada tahun 1898 yang mengalihkan kekuasaan Filipina kepada Amerika Serikat dan selanjutnya Amerika menguasai Filipina,[10]
Amerika Serikat kemudian menguasai kepulauan Filipina pada tahun 1317 H/1899 M. maka timbullah perlawanan menentangnya dan berlangsung hingga tahun 1339 H/1920 M.[11] Amerika Serikat mewarisi kawasan terutama di wilayah utara Filipina yang berpusat di Manila, Luzon. Sementara wilayah selatan Filipina yang membentang di Kepulauan Mindanao dan seluruh pulau Sulu yang tidak pernah terjamah oleh usaha kristenisasi Spanyol, berada dibawah kekuasaan militer Spanyol dengan cara membangun benteng pertahanan yang kuat di seluruh penjuru hunian penduduk. Namun, control atas masyarakat sedemikian lemah sehingga mudah diruntuhkan seiring dengan jatuhnya Teluk Manila oleh Amerika Serikat. Sungguhpun demikian, Amerika Serikat tidak mengelola daerah Selatan ini hingga 1902.[12]
Pada masa pemerintahan kolonialisme Amerika Serikat, masyarakat Islam yang masih tradisional tidak mau bekerja sama dengan Amerika maupun masyarakat Filipina lainnya yang katolik. Usaha pembaratan atau pemodernan administrasi juga gagal pada masyarakat Islam di Selatan. Amerika lebih mudah bekerja sama dengan mayarakat katolik.
Konsentrasi kebijakan Amerika Serikat memang tidak tertuju pada konversi agama penduduk, tetapi pada usaha mem-Barat-kan umat Islam sehingga mampu memerintah dirinya sendiri, setara dengan orang Kristen Filipina. Amerika Serikat  mengirimkan para pejabat sipil Kristen ke kawasan Islam yang dikuasai oleh penguasa muslim untuk memperkenalkan cara baru pengelolaan pemerintahan dan merangsang komunitas muslim untuk dapat bekerja sama dengan proyek negara. Program ini tidak hanya ditujukan untuk kolonialisme Amerika Serikat untuk melakukan transformasi dalam kehidupan kaum muslim di kawasan selatan, namun yang lebih penting meredakan permusuhan Islam-Kristen yang telah berjalan lama. Sebagai bagian dari proyek ini, colonial Amerika Serikat juga menganjurkan dan mengirim ribuan orang Kristen dari utara untuk menetap di Mindanao.[13]
C.    Islam di Filipina setelah Kemerdekaan
Ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan kepada rakyat Filipina pada tahun 1947, Islam manguindanao dan Sulu itu juga termasuk didalamnya. Dengan kata lain, kedua wilayah ini menjadi bagian dari negara Filipina, meskipun diprotes keras oleh pemimpin dan rakyat muslim di kawasan itu. Sebelum penyerahan kemerdekaan itu, Sultan Sulu mengirimkan surat kepada Kongres dan Presiden Amerika Serikat bahwa kepulauan Mindanao khususnya Kesultanan Sulu menolak untuk menjadi bagian dari negara Filipina yang merdeka. Mereka ingin tetap menjadi bagian dari negara Amerika Serikat dan tidak ikut bergabung dengan negara Filipina. Namun protes itu tidak digubris oleh Amerika Serikat dank arena itu muslim Moro di kepulauan Mindanao tetap menjadi bagian dari negara Filipina. Penyerahan kedaulatan kesultanan  Sulu oleh Spanyol ke penjajah Amerika Serikat yang dianggap illegal dan surat permintaan Sultan Sulu kepada Presiden dan Kongres Amerika Serikat untuk tidak bergabung dengan negara Filipina merdeka, itu menjadi tonggak sejarah bagi gerakan separatism di kepulauan Mindanao: bahwa bangsa moro sejak awal tidak bersedia menjadi bagian dari negara Filipina.[14]
Akibat berbagai kekecewaan dan sakit hati masyarakat Islam terhadap perlakuan yang tidak adil sejak masa kolonialisme Spanyol, Amerika, dan berlanjut pada masa pemerintahan Filipina mendorong munculnya organisasi-organisasi yang menuntut kemerdekaan bagi wilayah Selatan Filipina. Lahirnya MIM (Mindanao Independence Movement)  dan MNLF (Moro National Liberation Front) adalah upaya untuk meraih kemerdekaan bagi wilayah masyarakat Muslim. Di pihak lain, upaya dari penguasa Filipina masa kini juga tidak terlalu serius untuk memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat Islam dalam memperoleh kesempatan baik dalam pemerintahan, kemiliteran, dan pendidikan. Akhirnya tidak tahu sampai kapan persoalan masyarakat muslim bisa terselesaikan baik oleh pemerintah Filipina maupun para tokoh muslim di Filipina Selatan.
D.    Front Pembela Nasional Moro
Untuk kasus Filipina, sejarah hubungan antara kaum muslim di Filipina Selatan atau Moro dan penguasa penjajah Spanyol merupakan sejarah konfrontasi abadi. Setelah pendudukan militer dari tahun 1899 hingga 1903, provinsi Moro berdiri dari tahun 1903 hingga 1913 sebagai unit politik dan militer. Dari tahun 1914 hingga tahun 1920, didirikan wilayah bagian Mindanau dan Sulu. Tak lama kemudian urusan kaum muslim pun ditangani oleh pemerintah Filipina.
Lepas dari upaya mengintegrasikan wilayah itu secara administratif dan memasukkan pendidikan sekuler, organisasi masyarakat muslim Filipina tetap berdasarkan tradisi. Agama merupakan masalah utama. Pendidikan Agama Islam tetap memainkan peran penting dalam sosialisasi masyarakat. Gejala di Filipina pascakolonialisme adalah Kristenisasi dan Filipinanisasi yang menyebabkan kegelisahan terpendam di kalangan kaum muslim akan masa depan mereka yang hidup dalam bangsa Filipina. Karena kedaulatan Republik Filipina yang dipulihkan pada 4 Juli 1946, selain didasarkan pada Undang-Undang tahun 1935, yang kemudian mengadopsi model system pemerintahan demokrasi Amerika, juga secara tersembunyi dicurigai akan menghilangkan kesan masyarakat Islam di kepulauan Mindanau ini.[15]
Orang-orang Islam di Filipina ini menamakan diri mereka Moro. Menurut catatan sejarahnya, istilah Moro merujuk kepada kata “Moor”, “Moriscor”, atau “Muslim”, yang berasal dari istilah Latin “Mauri” sebuah istilah yang sering digunakan orang-orang Romawi Kuno untuk menyebut penduduk wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di wilayah Filipina dan menemukan sebuah bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat seperti orang-orang “Moor” di Spanyol Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang Islam Filipina dengan istilah “Moro”.[16] Namun, nama ini sebenarnya lebih bersifat politis, karena dalam kenyataannya. Moro terdiri dari banyak kelompok etno-linguistik, umpamanya Maranao, Manguindanao, Tausug, Samah, Yakan, Ira Nun, Jamanapun, Badjao, Kalibugan, Kalagan dan Sangil. Jumlah masyarakat Moro sekitar 4,8 juta jiwa atau 9% dari seluruh penduduk Filipina. Di Sulu masih terdapat penduduk mayoritas kepulauan tersebut, yaitu Tawi-Tawi, Zamboanga de Sur, Manguindanao, Zamboanga de Norte, Northj Corabaco, Sultan Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, South Cobaco, Palawan dan Basilan.
Moro yang diawali dengan lahirnya MIM “Mindanao Independence Movement” pada tahun 1968 yang diprakarsai oleh Datu Udtog Manulang. Kemudian pada tahun 1971 terbentuklah MNLF “Moro National Liberation Front” yang diketuai oleh Nur Misuari.
Mayoritas orang-orang Moro adalah nelayan dan petani. Orang Moro merasa diri berbeda dengan orang Filipina. Perbedaan tersebut sesungguhnya bukan pada faktor etnis, karena jumlah kelompok etnis mendekati 100 di Filipina tetapi lebih pada faktor sejarah politik, wilayah, agama dan kondisi sosial ekonomi.
Dilihat dari ektivitas kerja, orang-orang Islam Moro ada yang bekerja di sektor pemerintahan sebagai guru, administratur, personil angkatan bersenjata, pegawai kantor kehakiman dan bahkan ada yang terpilih sebagai gubernur. Kaum muslim yang mendapatkan pendidikan sekuler cenderung mudah menyatu dengan negara Filipina. Sebaliknya yang tidak mau menerima pendidikan sekuler dan hanya mendapatkan pendidikan agama secara tradisional, biasanya tidak menghendaki integrasi dengan Filipina, terutama kelompok elite lokal yang mendapat pendidikan di Timur Tengah. Antara kelompok elite tradisional dan massa terdapat jurang pemisah yang cukup lebar di kalangan masyarakat Moro. Identifikasi dan kesadaran etnik yang terjadi karena pembagian komunitas-komunitas muslim secara geografis, tampaknya sangat kuat. Namun, meskipun terdapat variasi dan perbedaan itu, terdapat perasaan persaudaraan keagamaan terutama ketika menghadap persoalan yang sama.[17]
MNLF ( Moro National Libertion Front), MNLF menyatakan perang dengan pemerintah Philipina sejak 1972-1976, mereka memaksa pemerintahan Ferdinand E. Marcos untuk menandatanagani perjanjian yang disebut “perjanjian Tripoli”. Tapi perjanjian Tripoli menurut opini MNLF, tidak dipatuhi pemerintah Philipina. ketentuan yang dibutuhkan oleh Legislatif  Philipina telah sesuai dengan perjanjian Tripoli. Seperti kewenangan kekeuasaan, pembagian daerah dan sistem administratif memberikan alibi sempurna bagi pemerintah Philipina untuk menolak. Kongres yang dikontrol oleh pihak legislatif yang bertentangan dengan semangat perjanjian terutama dalam memberikan otonomi berarti bagi bangsa Moro. Keadaan darurat pada tahun 1972 diberlakukan oleh Presiden Marcos mengarah pada semakin memburuknya pelaksanaan hukum. Masyarakat baru yang ingin dibangun oleh Marcos merupakan upaya untuk memperbaiki kebobrokan yang melanda Filipina sebagai negara. Kaum muslim tentu saja terpengaruh; namun pada tingkat pemerintahan mereka telah diberi konsensi. Pemberontakan kaum muslim dilihat sebagai sesuatu yang terlalu mahal dan tidak perlu. Perjanjian Tripoli yang diupayakan untuk menghentikan pertempuran antara pihak MNLF dengan pemerintah diadakan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perang Sabil (perang suci) merupakan tradisi keagamaan yang berusia sangat tua di Asia Tenggara. Bagian penting dari kehidupan melayu yang selalu dipakai untuk melawan musuh dari luar, terlebih lagi terhadap bangsa Eropa. Perang Sabil juga digunakan oleh penduduk Filipina Selatan terhadap kolonialisme Spanyol, kemudian Amerika Serikat. Perang Sabil di Filipina selatan pernah dilancarkan oleh Panglima Hassan yang memberontak terhadap kolonialisme Amerika Serikat ketika pajak cedula diberlakukan tahun 1903. Hal itu mungkin menjadi kebangkitan jihad kaum muslim.
Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Philipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis. Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Philipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis.
Ketika Philipina merdeka ditahun 1946, mayoritas warga Islam Moro di pulau Mindanao, meminta supaya tidak menjadi bagian negara yang baru itu, namun permintaan itu diabaikan. Sejak itu konflik berkepanjangan pun berlangsung. Dan puncaknya disaat Philipina dipimpin Ferdinand Marcos yang menerapkan kondisi perang ‘Martial Law’. Akibatnya menjadi sangat luar biasa terjadi konflik besar antara penduduk muslim dan non-muslim di Mindanao Selatan. Perang itu memusnahkan banyak perkampungan muslim. Banyak tanah dan harta milik kaum muslim Moro yang berpindah tangan. Agar perjuangan lebih terorganisir terbentuklah MIM (Muslim Independent Movement) oleh Datuk Udtog Matulam pada tahun 1968 dan MLF (Moro Liberation Front) pada tahun 1971. MNLF sebagai induk perjuangan bangsa Moro. Lahirnya MIM dan MNLF adalah sebagai bentuk upaya untuk meraih kemerdekaan bagi wilayah masyarakat muslim.
Dampak lainya, masyarakat Islam di Filipina tidak memiliki tokoh yang bisa memanfaatkan berbagai kesempatan baik pada masa penjajahan Spanyol, Amerika Serikat maupun pada masa kemerdekaan. Akibat logisnya adalah tidak adanya tokoh muslim yang masuk ke jajaran elit pemerintahan dan elit politik yang memperjuangkan mereka secara politis. Yang ada hanya tokoh yang dapat mengobarkan mereka untuk perang sabil. Padahal dalam upaya memperjuangkan apapun di samping upaya perang, harus ada yang memperjuangkannya secara politis, khususnya dalam negeri.





[1] Apipudin, Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : 2007), hal.99
[2] Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai; Peran Civil Society Muslim di Thailand Selatan & Filipina Selatan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2012) hal. 44 - 45
[3] Apipudin, Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : 2007) hal. 104
[4] Apipudin, Islam di Asia Tenggara,… hal. 105
[5] Diakses 15 Mei 2014,  http://www.globalmuslim.web.id/2011/01/islam-di-filipina-sebuah-fakta-sejarah.html
[6] Apipudin, Islam di Asia Tenggara,… hal. 105
[7] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adam hingga  Abad XX, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2003) hal.
[8] Apipudin, Islam di Asia Tenggara,… hal. 107
[9] Prof Dr. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Asia Tenggara ,…hal.477
[10] Apipudin, Islam di Asia Tenggara,… hal.108
[11] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adama hingga  Abad XX
[12] Ensiklopedi hal.336
[13] Prof Dr. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Asia Tenggara ,… hal.337
[14] Ahmad Suaedy,.. hal. 46
[15]  Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam; Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hal.362-363
[16] Prof Dr. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Asia Tenggara, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) hal. 476
[17] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam; Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik,… hal. 364– 365

1 komentar: